KRIMINOLOGI

KATA  PENGANTAR

 

 

Assalamualaikum Wr Wb

Segala puji syukur senantiasa kami ucapakan atas kehadirat ALLAH SWT yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya kepada kita semua sehingga kami dapat menyusun tugas akhir semester ini sampai dengan selesai. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW beserta Para Sahabat dan Keluarga-Nya sampai hari kemudian. Kami membuat tugas akhir semester ini diajukan sebagai persyaratan untuk melengkapi nilai akhir,  mata kuliah kriminologi.  Tugas akhir semester ini berjudul Anak dan Kriminalitas.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan tugas akhir semester ini masih banyak kekurangan oleh karena itu, kami mengharapkan berbagai kritik dan saran dari dosen dan teman – teman yang sifatnya konstruktif (membangun) demi kesempurnaan tugas akhir semester ini. Semoga tugas akhir semester yang kami susun ini bermanfaat bagi kita semua, terutama untuk kelompok kami.

 

Wassalamualaikum Wr Wb

 

 

 

 

Penulis

Kelompok 4

 

 

 

 

 

DAFTAR ISI

 

 

 

 

Cover                                  ………………………………………………………….    1

Kata Pengantar               ………………………………………………………….    2

Daftar Isi                           ………………………………………………………….    3

BAB I

Pendahuluan                    ………………………………………………………….

1.1    Latar Belakang       ………………………………………………………….    4

BAB II

2.1    Hasil Wawancara    ………………………………………………………….      6

2.2    Analisis                     ………………………………………………………….      9

2.3    Teori Yang Terkait ………………………………………………………….    11

BAB III

3.1    Kesimpulan              ………………………………………………………….    13

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Kejahatan merupakan tindakan yang di luar nalar, model dan tipe kejahatan terus berkembang sejalan dengan makin dan kian maraknya tingkat kejahatan di negeri ini terlebih apabila di lakukan oleh anak-anak. Anak yang semestinya identik dengan bermain dan belajar  kini sudah merambah pada hal yang namanya kejahatan. Dan celakanya hal ini banyak terjadi di kalangan anak-anak kita. Narkotika, pencurian, asusila dan bahkan pembunuhan kerap kali terjadi dan di lakukan oleh anak. Banyak factor yang menyebabkan anak berbuat di luar nalar tersebut seperti di atas, utamanya ialah factor lingkungan. Lingkungan tempat anak bermain amat sangat menentukan si anak melakukan perbuatan-perbuatan kriminal.

Aturan hukum pidana dibuat oleh negara pada hakekatnya untuk melindungi kepentingan publik. Walaupun mungkin korbannya bersifat individual, namun suatu tindak pidana secara tidak langsung menimbulkan keresahan kepada banyak orang. Dalam rangka menjamin keselamatan umum, hukum pidana memuat berbagai perbuatan yang tidak boleh dilakukan atau perbuatan-perbuatan yang harus dilakukan karena secara substansial, perbuatan-perbuatan tersebut membahayakan keselamatan dan kepentingan publik (umum). Hukum pidana memiliki kekuatan memaksa yakni bagi yang melanggar larangan atau tidak melakukan kewajiban yang di atur dalam hukum pidana akan di hukum secara pidana.

Namun demikian seseorang yang diindikasikan telah melakukan suatu tindak pidana baik melakukan perbuatan yang dilarang maupun tidak melakukan suatu kewajiban menurut hukum pidana, tidak mutlak bisa dijatuhi hukuman pidana. Karena itu proses penegakan hukum mutlak diperlukan untuk memastikan apakah orang tersebut memang benar telah melakukan suatu tindak pidana ataukah tidak. Dan walaupun yang bersangkutan benar telah melakukan suatu tindak pidana, namun apakah dia dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.

Dalam perkembangan penerapan hukum pidana di Indonesia keberadaan anak yang melakukan kejahatan atau tindak pidana yang biasa dikenal dengan sebutan “anak” ini tetap diproses secara hukum. Hal ini terjadi karena kejahatan anak tersebut telah menimbulkan kerugian kepada pihak lain (korban) baik secara material maupun nyawa. Namun di sisi lain penegakan hukum terhadap kejahatan anak menimbulkan masalah karena pelaku kejahatan itu adalah anak yang secara hukum belum cakap hokum.

Penegakan hukum terhadap anak ternyata menimbulkan masalah, baik dari sudut hukum pidana positif, maupun hukum pidana Islam. Karena menurut Undang-undang Pengadilan Anak, anak di bawah yang melakukan kejahatan yang layak diproses adalah anak yang telah berusia 8 tahun, dan diproses secara khusus, berbeda dengan penegakan hokumterhadap orang dewasa. Tegasnya, anak yang melakukan kejahatan yang belum berusia 8 tahun seharusnya tidak diproses secara hukum seperti anak yang telah berusia 8 tahun.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

2.1   Hasil Wawancara

Nama             : Robi

Usia                : 17 tahun

Alamat          : Serpong – Tangerang

  1. 1.    Bagaimana kehidupan sehari – hari sebelum di lapas? Asal dari mana?

Sehari – hari saya tinggal bersama kedua orang tua, karena salah pergaulan saya menggunakan ganja sekaligus menjual ganja tersebut untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari. Sebenarnya saya berjualan ganja karena faktor keluarga yang membuat saya kurang nyaman, sehingga saya jarang berada di rumah, lebih banyak bergaul dengan teman – teman sesama pemakai.

  1. 2.    Bagaimana caranya dia melakukan kejahatan tersebut? Bagaimana perasaan dia ketika melakukan kejahatan tersebut? Siapa yang mempengaruhi dia?

Awalnya saya hanya pemakai, lalu karena kebutuhan sayapun mencoba untuk menjual ganja tersebut yang saya dapatkan dari teman saya. Pada dasarnya saya di pengaruhi oleh lingkungan teman sekaligus faktor keadaan keluarga. Perasaan saya ketika tertangkap oleh polisi sangat menyesal dan merasa bersalah kepada orang tua.

  1. 3.    Bagaimana rehabilitas pendidikan di lapas?

Saya di sini baru 1 bulan, dan belum di putus pidananya. Yang saya tahu saya hanya mengikuti kegiatan yang ada di dalam lapas.

  1. 4.    Bagaimana harapan dia jika keluar dari lapas? Apa yang mau dilakukan?

Harapan saya setelah bebas saya ingin lebih baik dan tidak mau mengulanginya lagi, dan saya ingin bekerja.

Nama             : Hamdan

Usia                : 25 tahun (Sudah 7 tahun lebih di Lapas Anak Tangerang)

Alamat          : Pelabuhan Ratu

  1. 1.    Bagaimana kehidupan sehari – hari sebelum di lapas? Asal dari mana?

Kehidupan sehari – hari saya sebelum masuk lapas, saya bergaul bersama orang – orang yang pemabuk dan memakai narkoba jenisnya sabu – sabu. Saya tinggal bersama kedua orang tua, tapi kehidupan sehari – hari saya berandalan, sering tawuran saat masih sekolah dulu.

  1. 2.    Bagaimana caranya dia melakukan kejahatan tersebut? Bagaimana perasaan dia ketika melakukan kejahatan tersebut? Siapa yang mempengaruhi dia?

Saya disini terkena Pasal 340 dan Pasal 338 di vonis 10 tahun penjara, saya di sini sudah 7 tahun lebih. Saya membunuh karena ada teman saya bercerita akan di bunuh oleh musuhnya, karena solidaritas sebelum teman saya di bunuh, maka saya berinisiatif untuk membunuh musuh teman saya/orang yang akan membunuh teman saya itu. Pada saat membunuh saya dalam keadaan tidak sadar akibat pengaruh narkotika. Ketika melakukan kejahatan saya tidak merasa bersalah, tapi setelah efek dari narkotika hilang saya baru menyadari dan merasa menyesal.

  1. 3.    Bagaimana rehabilitas pendidikan di lapas?

Di sini saya merasa lebih baik, karena di dalam lapas ini pendidikan sangat di perhatikan. Anak – anak yang dulunya tidak sekolah bisa mendapatkan pendidikan, dan untuk yang beragama Islam ada kegiatan pesantren. Di ajarkan berbagai macam keahlian seperti service handphone, service air conditioner, service motor, menjahit, olahraga, kesenian lukis, main alat musik (band), tersedia fasilitas internet. Kemudian di sinipun Andikpas yang berprestasi bisa mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi.

  1. 4.    Bagaimana harapan dia jika keluar dari lapas? Apa yang mau dilakukan?

Keadaan di lapas ini menginspirasi saya untuk mendidik, atau membuka usaha service air conditioner atau membuka studio band.

2.2   Analisis

Berdasarkan dari hasil wawancara yang kami dapat dari keterangan para Adikpas, hal yang mereka lakukan merupakan perbuatan yang mereka sendiri sadar bahwa hal itu termasuk tindakan yang tidak di benarkan secara hukum, namun mereka seolah me-legalkan hal tersebut, di karenakan lingkungan yang mendukung mereka melakukan perbuatan tersebut. Hal ini tercermin dari kasus saudara Robi, ia terbiasa bergaul bersama teman – teman yang memang memakai narkotika dan juga para penjual narkotika. Yang awalnya narkotika (ganja) tersebut ia pakai sendiri untuk pelarian dari rasa kurang nyaman yang ia rasakan di dalam rumah, tapi karena ia bergaul pula dengan para pengedar ganja, maka iapun mengikuti teman – temannya sebagai penjual ganja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.  Menurut  klasifikasi kejahatan Bonger, ini  merupakan motif  ekonomi, yaitu ia melakukan kejahatan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Juga difaktorkan oleh keadan keluarga yang kurang mendukung yang membuat dirinya kurang merasa nyaman dalam lingkungan keluarga, sehingga sebagai pelarian ia kemudian memakai dan menjual ganja yang ia dapat dari temannya itu.

Contoh kedua dari hasil wawancara dengan Adikpas yang bernama Hamdan yang melakukan pembunuhan. Pada awalnya ia bercerita bahwa pada saat itu dia mengetahui bahwa temannya akan dibunuh oleh musuhnya, maka dari itu ia membunuh musuh temannya itu terlebih dahulu dalam keadaan dipengaruhi oleh sabu. Hal ini terlihat bahwa Hamdan sangat solidaritas kepada temannya, ia melakukan pembunuhan untuk melindungi nyawa temannya yang tanpa sadar hal itu justru membuatnya masuk ke dalam penjara. Tapi karena pergaulan sehari – hari dengan para pemakai narkotika (sabu) dan para pemabuk, serta latar belakang Hamdan yang tergolong berandalan dari semasa sekolah, maka tak heran ia bisa melakukan pembunuhan, walau sebenarnya ia melakukan pembunuhan dibawah pengaruh sabu yang ia konsumsi.

Dari kedua Adikpas yang kami wawancarai, dapat di ambil kesimpulan bahwa hampir sebagian besar mereka melakukan kejahatan karena pengaruh dari lingkungan keluarga serta pengaruh pertemanan yang salah. Kebiasaan bergaul dengan pemakai narkotika serta pemabuk membuat mereka menjadi pemakai serta pemabuk juga. Tuntutan untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari mendorong Robi untuk mencari uang dengan jalan pintas, karena terbiasa bergaul dengan penjual ganja, Robi pun mencoba berjualan ganja untuk memenuhi kebutuhannya. Sedangkan Hamdan yang melakukan pembunuhan karena solidaritas merupakan sebuah cerminan bahwa eratnya tali pertemanan yang terjalin antara Hamdan dan teman – temannya.

2.3   Teori Yang Terkait

 

Menurut teori Maber Elliot menyatakan bahwa penjahat adalah orang – orang yang gagal dalam menyesuaikan dirinya dengan norma – norma masyarakat sehingga tingkah lakunya tidak dapat dibenarkan oleh masyarakat. Sedangkan menurut Sutherland berpendapat bahwa penjahat ialah orang yang terlibat atau melakukan kejahatan.

Berdasarkan klasifikasi kejaharan menurut Bonger, kejahatan yang dilakukan oleh Robi ini  merupakan motif  ekonomi, yaitu ia melakukan kejahatan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Sedangkan kejahatan yang dilakukan oleh Hamdan adalah motif balas dendam. Berdasarkan teori kejahatan menurut Linde Smith dan Dunham mengatakan bahwa ini merupakan type penjahat individu yang melakukan kejahatan atas alasan pribadi tanpa dukungan budayanya.

Travis Hirschi (Social Bonds) menyebutkan empat social bonds yang mendorong socialization (sosialisasi) dan conformity (penyesuaian diri) yaitu attachment, commitment, involvement, dan belief. Menurut Hirschi “the stronger these bonds, the less likelihood of delinquency” yang artinya semakin kuat ikatan – ikatan ini, semakin kecil kemungkinan terjadi delinquency.

Albert J.Reiss (Personal and Social Control), delinquency menurut Reiss merupakan hasil dari (1) kegagalan dalam menanamkan norma – norma berperilaku yang secara sosial diterima dan ditentukan, (2) runtuhnya kontrol internal, (3) tiadanya aturan – aturan sosial yang menentukan tingkah laku di dalam keluarga, sekolah, dan kelompok – kelompok sosial lainnya. Personal control di definisikan sebagai kemampuan individu untuk menolak memenuhi kebutuhan dengan cara yang berlawanan dengan norma – norma dan aturan – aturan masyarakat. Sedangkan sosial control didefinisikan sebagai kemampuan kelompok – kelompok atau lembaga – lembaga sosial untuk membuat norma – norma atau aturan – aturannya dipatuhi. Menurut Reiss, penyesuaian diri dengan norma mungkin dihasilkan dari penerimaan individu atas aturan dan peranan atau semata – mata dari ketundukan kepada norma.

BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Dua kejadian di atas, hanyalah sebagian saja yang kebetulan terekspos oleh kami. Mungkin masih ada beberapa kasus lain yang dilakukan oleh ABG, baik dengan jenis kejahatan yang serupa maupun berbeda. Dalam ilmu kriminologi dikenal istilah dark number (angka gelap) pada data statistik kriminal kepolisian, dimana sangat dimungkinkan tidak semua kejahatan dan pelanggaran yang terjadi dimasyarakat masuk kedalam data statistik kriminal karena beberapa hal, seperti ada kasus yang tidak dilaporkan kepolisi, telah diselesaikan secara kekeluargaan atau cukup diselesaikan di pada tingkat RT/RW saja, mengingat pelakunya masih warga setempat atau karena masih ABG. Beberapa hal tadi belum termasuk kejahatan yang sukses alias berhasil alias tidak ketahuan/tertangkap.

Ada beberapa faktor penyebab terjadinya kejahatan/pelanggaran yang dilakukan oleh anak/ABG, diantaranya adalah faktor keluarga, faktor lingkungan dan faktor ekonomi. Dari ketiga faktor tersebut, bisa ketiganya sekaligus menjadi faktor penyebab atau hanya salah satunya saja.

Pertama, faktor keluarga. Faktor ini dapat terjadi karena beberapa hal, seperti ketidakharmonisan dalam keluarga. Hal ini bisa membentuk anak kearah negatif, karena keluarga memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam mengarahkan perilaku, pergaulan dan kepatuhan norma si anak. Ketidakharmonisan bisa terjadi karena perceraian orang tua, orang tua yang super sibuk dengan pekerjaannya, orang tua yang berlaku diskriminatif terhadap anak, minimnya penghargaan kepada anak dan dan lain-lain. Kesemua hal tersebut membuat anak merasa sendiri dalam mengatasi masalahnya di sekolah dan lingkungannya, tidak ada tauladan yang patut dicontoh dirumah, minimnya perhatian, selalu dalam posisi dipersalahkan, bahkan anak merasa di perlakukan tidak adil dalam keluarga

Faktor ketidakharmonisan keluarga yang memicu anak mudah melanggar norma sebagaimana saya ungkapkan di atas, menurut kaca mata sosiologis mungkin hal yang wajar dan sejalan dengan hukum sebab akibat. Namun demikian lain halnya apabila yang memicu justru orang tua atau yang dituakan oleh si anak. Artinya pelanggaran norma tersebut justru dilegalkan oleh orang tua atau lebih berbahaya lagi kondisinya apabila pelanggaran norma tersebut didukung, dikondisikan dan di kordinir oleh orang tua sendiri.

Kedua, faktor lingkungan. Setelah keluarga, tempat anak bersosialisasi adalah lingkungan sekolah dan lingkungan tempat bermainnya. Mau tidak mau, lingkungan merupakan institusi pendidikan kedua setelah keluarga, sehingga kontrol di sekolah dan siapa teman bermain anak juga mempengaruhi kecenderungan kenakalan anak yang mengarah pada perbuatan melanggar hukum. Tidak semua anak dengan keluarga tidak harmonis memiliki kecenderungan melakukan pelanggaran hukum, karena ada juga kasus dimana anak sebagai pelaku ternyata memiliki keluarga yang harmonis. Hal ini dikarenakan begitu kuatnya faktor lingkungan bermainnya yang negative.

Anak dengan latarbelakang ketidakharmonisan keluarga, tentu akan lebih berpotensi untuk mencari sendiri lingkungan diluar keluarga yang bisa menerima apa adanya. Apabila lingkungan tersebut positif tentu akan menyelesaikan masalah si anak dan membawanya kearah yang positif juga. Sebaliknya, jika lingkungan negatif yang didapat, inilah yang justru akan menjerumuskan si anak pada hal-hal yang negatif, termasuk mulai melakukan pelanggaran hukum seperti mencuri, mencopet, bahkan menggunakan dan mengedarkan narkoba.

Aktivitas kelompok atau biasa dikenal ”gang” sepertinya perlu mendapat perhatian lebih dari orang tua, guru dan tokoh masyarakat, baik itu yang tumbuh di sekolah maupun di lingkungan masyarakat. Sebuah komunitas gang biasanya dipandang negatif. Bahayanya, komunitas ini memiliki tingkat solidaritas yang tinggi, karena si anak ingin tetap diakui eksistensinya dalam gang tersebut, karena dikeluarga maupun disekolah si anak merasa tidak diakui keberadaannya. Akibatnya, penilaian mengenai apakah perbuatan gang itu salah atau benar tidak lagi masalah, yang penting si anak menerima tempat dimana ia diterima apa adanya.

Ketiga, faktor ekonomi. Alasan tuntutan ekonomi merupakan alasan klasik yang sudah menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya kejahatan sejak perkembangan awal ilmu kriminologi (ilmu yang mempelajari kejahatan). Mulai dari kebutuhan keluarga, sekolah sampai dengan ingin menambah uang jajan sering menjadi alasan ketika anak melakukan pelanggaran hokum.

Ketiga faktor di atas, hanyalah sebagian dari pemicu anak melakukan pelanggaran hukum. Perlu perhatian yang serius oleh tiga institusi pendidikan anak, yaitu keluarga, sekolah dan lingkungan. Orang tua harus memberikan perhatian ekstra terhadap anak, baik itu pendidikannya maupun teman bermainnya. Pihak sekolah juga harus melakukan pengawasan yang maksimal, meskipun keberadaan anak disekolah tidak lama, minimal dapat mencegah berkembangbiaknya ”geng-geng” yang nakal disekolah dan menghindari terjadinya perkelahian antar siswa dan tawuran antar sekolah. Terakhir, sosial kontrol dari tokoh masyarakat dan tokoh agama, serta peran pemerintah dan swasta untuk memberikan ruang bermain bagi anak dilingkungannya, sehingga anak tidak bermain dijalan dan membentuk komunitas yang negatif.

2 Responses to KRIMINOLOGI

  1. rajidt hukum says:

    saya mau bertanya bung.? efek jerah dari pelaku kejahatan krimonologi apakah berdampak pada dirinya sendiri atau menghantui dirinya sendiri karena saya pernah masuk dalam kejahatan tersebut.

Leave a reply to rajidt hukum Cancel reply